Perihal Menjadi Anak Sulung

 


Berkali-kali aku mendengar bahwa anak sulung harus menjadi panutan untuk adik-adiknya. Itu adalah beban berat yang anak sulung rasakan selama bertahun-tahun hingga akhirnya ia bisa bebas dari rumah lama menuju rumah barunya.

Hari ini aku menonton series “Sabtu Bersama Bapak” yang tayang di Prime Video Indonesia baru-baru ini. Disana aku mendapati sebuah kalimat yang sangat bermakna:

“Anak sulung bukanlah role model untuk adiknya. Anak sulung tidak pernah meminta untuk dilahirkan pertama. Yang seharusnya menjadi role model bagi anak-anak adalah Bapak.” – Gunawan.

Satya dan Saka adalah anak dari bapak Gunawan. Mereka adalah anak-anak yang hanya ditemani oleh ayahnya untuk 8 tahun pertama. Kemudian pak Gunawan meninggal. Satya dan Saka harus dibesarkan oleh seorang ibu. Diceritakan bahwa Satya dan Saka tumbuh menjadi anak yang baik, sholeh, dan sukses di bidangnya masing-masing. Menjadi sosok manusia yang cerdas dan memiliki empati, padahal Bapaknya hanya 8 tahun bersama mereka.

Pak Gunawan dan istrinya, Bu Itje, adalah orang-orang yang memiliki prinsip “menikahlah diwaktu yang tepat bersama orang yang tepat”. Mereka percaya bahwa daripada berjuang sama-sama, lebih baik menyelesaikan urusan diri sendiri terlebih dahulu, kemudian baru memulai hidup baru. Aku setuju pada konsep itu dan meyakini bahwa itu lebih baik ketimbang belum punya persiapan apa-apa lalu menikah dan punya anak. Kemudian dengan ketidaksiapan itu, anak harus menjadi korban. Terutama anak sulung.

Tidak semua anak sulung mau memiliki adik atau saudara. Anak sulung juga tidak bertanggung jawab untuk mengurusi adik-adiknya. Kenapa? Anak sulung tidak meminta seorang adik untuk dilahirkan. Memiliki anak lainnya adalah kehendak orang tua, maka orang tua yang harusnya bertanggung jawab. Anak sulung diperbolehkan membantu orang tua dalam menjaga adik-adiknya. Namun budaya kita cenderung mengatakan sebaliknya. 

Padahal anak sulung ketika mereka sudah dewasa dan memiliki keluarga, bukankah mereka harus mengurus keluarganya juga? Terlebih jika ia adalah perempuan. Ia nantinya juga akan menjadi seorang ibu rumah tangga, belum ketika mereka juga memutuskan untuk bekerja. 

Alih-alih belajar atau berlatih menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik, kehidupan sebagai anak sulung memaksanya dewasa sebelum waktunya. Waktu dimana ia lebih ingin memperhatikan dirinya sendiri, menghabiskan waktu untuk mengembangkan minat dan bakatnya, terhambat karena harus mengurus pihak lain selain dirinya sendiri.

Mengurus rumah tangga dalam dua periode, pertama sebelum menikah, kedua setelah menikah.

Padahal, lagi-lagi, anak sulung tidak pernah meminta untuk dilahirkan pertama.

Orang-orang memiliki ekspetasi yang begitu besar terhadap anak sulung dan anak sulung memiliki ekspetasi besar untuk hidupnya bisa bebas tanpa beban.

Ini juga kadang menjadi alasan kenapa banyak orang yang memilih untuk childfree atau tidak mau memiliki anak. Bukan karena mereka menentang ajaran agama yang mengatakan bahwa ‘menikah bertujuan untuk melanjutkan keturunan’. Namun memiliki anak merupakan TANGGUNG JAWAB BESAR yang harus disadari orang tua. 

Orang tua harus siap lahir batin untuk memiliki anak. Dan itu adalah masalah ketika kesiapan belum ada, tapi ngebet pengen punya anak Cuma biar ‘tidak dibilang mandul atau tidak subur’ karena tidak punya keturunan. 

Persepsi yang salah juga ketika orang-orang buru-buru untuk menikah hanya karena ‘tidak ingin masanya habis’ atau dianggap ‘bujang lapuk atau gadis tua’.

Persepsi ini memang kolot. Ketidaksiapan untuk melakukan sesuatu bisa berakibat fatal, terutama pada kesehatan mental yang berujung pada perilaku, pola pikir, dan sikap seseorang dalam berkehidupan.

Lihat, berapa banyak orang yang hidupnya menyimpang dari jalan yang seharusnya?

Bukankah itu berawal dari ketidaksiapan, namun gatal untuk coba-coba melakukan?

Apakah pernah terpikirkan dampaknya? Bukan sekedar persoalan ‘mau bertanggung jawab atau tidak’ tapi lebih kepada: Bisa bertanggung jawab dalam bentuk apa nantinya?

Percuma punya anak banyak, tapi tidak sanggup untuk mengurus dan mengasihi anaknya dengan penuh tanggung jawab. Anak bukan investasi. Bukan juga ladang rejeki, meskipun anak memang punya rejekinya sendiri. Berhentilah menjadi dungu.

Comments