#2 Menyimpan semua tanya

Aku masih menangisimu seperti saat pertama kali aku mengatakan aku pergi. Aku masih belum bisa melepas semua kejadian yang pernah kita lakukan bersama. Aku masih ingin mengenangnya, aku masih ingin melakukannya untuk kedua, ketiga, bahkan keempat kalinya. Aku masih ingin menggenggam tanganmu yang besar, menatap matamu yang indah, melihat senyummu yang menyebalkan, dan mendengarmu yang selalu memujiku. 

Kenapa kita tidak bisa bersama saja? Kenapa kita tidak bisa seperti pasangan lainnya yang memiliki komunikasi yang baik, yang selalu punya topik, yang tak pernah bosan dan kehilangan arah ketika ngobrol bersama?

Kenapa kita tidak bisa lanjut saja? Memiliki sandaran ketika dunia kejam pada kita bukankah menyenangkan? Bukankah merasa aman ketika kita tau dan memiliki tempat untuk kembali setelah hiruk-pikuk dunia membuat kita lelah? 

Kenapa kita tidak mau melakukannya? Apa kita belum cukup dewasa untuk menjalankan hubungan bersama? Apakah urusan pribadi kita terlalu banyak sehingga kita hanya bisa fokus pada diri kita sendiri?

Kenapa kita begitu nyaman menghabiskan waktu dan berbincang dengan teman-teman lainnya? Sedang ketika kita bersama, kita hanya bergandeng tangan dan diam. Membiarkan waktu menenggelamkan kita dalam dunia hening tanpa kata. Kenapa kita begitu tenang ketika sedang berdua? Tidak bisakah kita bertengkar saja supaya ada sedikit kemeriahan dalam hubungan ini? 

Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin kulontarkan setiap malam pada dinding-dinding kamar. Jika mereka bisa bicara, mungkin mereka sudah menjadi temanku selama ini. Hanya saja aku takut jika benar mereka bicara. 

Sesuatu yang tidak pernah bisa kukatakan padamu dan semua pertanyaan yang ingin aku tanyakan...aku tetap menyimpannya. 


— bersambung. 

Tunggu kelanjutannya di chapter #3. 

Comments