Jenuh sedikit

source:Pinterest

Life is easy, isn’t it?

Ya harusnya gitu tapi nyatanya engga. Hampir 24 tahun aku hidup dengan penuh kritik, yang membuatku akhirnya bisa menerima semua kritik dan saran dengan lapang dada meski harus bertahan dulu sebelum berpikir ulang.

Aku mengelak bukan karena tidak mendengarkan, melainkan tahu bahwa yang orang lain katakan itu benar. Aku hanya menolak fakta untuk menutupi kekurangan yang kupunya.

Tapi ada masa dimana aku hanya diam dan mengiyakan. Disana kepura-puraan terjadi. Ketika aku tahu benar apa yang kulakukan, tapi tetap saja kritik dan cemooh itu datang.

Ada bagian diriku yang sulit untuk dibagi kepada orang lain. Ada banyak cerita yang gak mungkin harus selalu diulang lagi dan lagi. Kadang waktunya gak cukup atau bahkan gak tepat untuk melakukan pertahanan. 

Life is easy…..selama gak ada komentar berlebihan dari orang lain.

Aku heran kenapa orang terus saja mengkritik apa yang kulakukan tanpa pernah bertanya apa yang kurasakan. Benarkah mereka begitu mencintaiku dan menaruh perhatian besar padaku sehingga terus memupuk diriku agar terus maju dan berkembang sesuai dengan track yang mereka ciptakan?

Pernah suatu hari, ada yang bertanya padaku, “kamu kan udah pinter, kok baca buku?”. Hmm…ini adalah pertanyaan paling menyebalkan kala itu. Aku gak pinter dan gak akan pernah. Aku mungkin hanya tahu satu dari sekian banyak hal di dunia.

Aku juga sering dibilangin ‘kutu buku’, ‘sok pinter’, ‘belajar terus’, ‘kebanyakan teori’, ‘baca buku gak penting’, dan bahkan disuruh untuk berhenti membaca. Padahal aku baca buku hanya untuk senang-senang. Aku menerima validasi dan afirmasi manis, yang gak pernah aku dapatkan dari manusia-manusia nyata di sekitarku. Apakah itu salah?

Perihal pekerjaanku menjadi guru juga selalu dipertanyakan, “kenapa?”.

“Susah-susah kuliah di HI, kenapa jadi guru?”

“Guru kan gajinya kecil, mending jadi diplomat”

“Mending ikut PNS dari pada jadi guru di swasta”

“Kapan mau berhenti jadi guru?”

“Kan gak suka anak-anak, kenapa mau jadi guru?”

“Katanya gak suka anak-anak, kenapa bisa jadi guru?”

“Kamu kan gak suka anak-anak dan gak punya backround itu, emang bisa mengajar?”

“Kamu tuh harusnya kerja di kementerian, kementerian luar negeri tuh”

Bla bla bla……………….

Ada aja.

Selalu mengukur sesuatu dengan materi dan selembar kertas pendidikan. Ergh. Cape deh.

Padahal ada faktor lain yang bisa jadi pertimbangan seperti passion, skills, dan feeling. Pernahkah mereka mau tau aku sukanya apa? Aku bisanya apa? Dan gimana perasaanku ketika melakukannya? Gak kan. Orang-orang gak mau tahu.

Aku suka dan bangga pernah belajar dan lulus dari jurusan Hubungan Internasional. Aku juga akan terus belajar dan mengikuti perkembangan dunia politik, hukum, dan ekonomi internasional, tapi bukan berarti harus menjadi bagian yang melakukan hal tersebut.

Aku pernah menulisnya disini, tentang betapa senangnya aku ketika mengetahui bahwa aku berkesempatan untuk menjadi seorang guru dan disini tentang perjalanan mengajarku. Aku selalu bertanya, kenapa pekerjaan ini menjadi sangat menarik. Dan aku bertanya pada diriku mengapa aku memilih pekerjaan ini dan aku sudah memiliki jawabannya. 

Meski sebenarnya aku bisa aja gak peduli dengan perkataan orang lain, tapi kata-kata mereka terus terngiang di kepala karena mereka hidup dan bernapas disekitarku. Perkataan dan pertanyaan yang sama sering terlontar. Jadi aku mendengarnya tidak hanya sekali, tapi berkali-kali.

Dan yang terbaru, akhir-akhir ini, aku membeli sebuah mesin jahit. Gak ada yang tahu -tapi ini bakal dikasih tahu-, memiliki mesin jahit adalah impianku dari tahun 2020. Aku menulisnya dikertas kecil bersama dengan beberapa impian lainnya seperti lulus dengan predikat cumlaude dan IPK yang bagus (sesuai request), dsb. Kertas tersebut kemudian aku selipkan diantara lembaran Quran yang sering kubaca.

It's my wish for having a sewing machine. Aku senang memilikinya. Tapi lagi-lagi kritik itu datang…

“Mau jadi tukang jahit?”

“Kalau mau jadi tukang jahit ngapain kuliah, mending masuk SMK aja kemarin”

“Jauh-jauh kuliah di HI, jadi tukang jahit, ngapain..”

Hehehehehe.

Emang gak boleh ya punya kemampuan khusus?

Padahal aku punya banyak impian. Selain bisa menjahit, aku juga ingin bisa bernyanyi dengan merdu dan piawai memainkan beberapa alat musik. Aku juga ingin menjadi baker. Aku juga ingin menjadi barista. Aku ingin lihai dalam berenang. Aku ingin menerbitkan buku yang kutulis. Aku punya banyak keinginan dan aku akan memperjuangkannya satu per satu.

Aku akan tetap memperjuangkannya, meski saat ini sedang jenuh. Kata-kata mereka terngiang dalam benakku selama satu minggu terakhir ini. Berkali-kali aku mengusirnya, tapi mereka gak pergi. Berkali-kali aku menutup telinga, tapi suara mereka terdengar lagi. Aku jenuh.

Do I take things personally? I do. Still do.

Aku hanya tidak menunjukkannya seperti dulu. Aku cukup mampu untuk mengendalikan sedikit banyaknya emosi yang kurasakan satu per satu. Dan apapun yang terjadi, orang-orang masih akan mengkritikku. Aku hanya perlu mencari strategi baru untuk mendengarkan dengan dada yang lebih lapang dan perasaan yang lebih tenang. 

Dan terima kasih Tuhan, untuk kemampuanku dalam merangkai ungkaian kata. Aku senang memilikinya dan aku akan terus menggunakannya hingga suatu saat aku bisa membaca tulisanku kembali seraya berkata, “aku berhasil melewati masa-masa sulit itu”.

Hidup itu mudah. Aku hanya perlu berjalan untuk melewatinya. 

Terima kasih sudah datang dan membaca, jangan lupa bahagia!

Comments